Terik panas dibulan ini tak seterik panas, geliat wacana Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta. Aksi saling tikam
karakter sering terjadi, terutama pada sosok Gubernur sekaligus bakal calon
dalam Pilgub mendatang, Ahok pemilik nama lengkap Basuki Tjahja Purnama.
Sosok yang kontroversial ini menjadi seperti common enemy bagi beberapa lapisan masyarakat
Jakarta. Pasalnya, sosok ini kerap sekali melakukan hal yang tidak wajar meski pada maksudnya adalah
benar. Mungkin, loh.
Kita lihat saja tayangan hasil rekaman staf Balai Kota Pemerintahan
Provinsi DKI Jakarta yang tersebar di youtube, mempertontonkan bagaimana karakter
Ahok yang tegas nan keras, seperti layaknya Hakim
Bao, yang mampu memberikan rasa
keadilan menurut versinya. Sekali lagi itu benar menurut versinya.
Pertanyaan saya kenapa dia hanya mempertontonkan aksinya itu hanya di Balai Kota, hampir
tidak pernah, eh takut terlewat saya katakan saja, jarang sekali saya melihat
perilaku Hakim Bao-nya ini dilakukan
diluar Balai Kota, berhadapan dengan mereka yang akan digusur, berhadapan
dengan para pelacur Kalijodo, reklamasi
pantai dan dengan lainnya yang menjadi korban kebijakan Ahok dalam menata
Jakarta.
Saya melihat Balai Kota seperti kerajaan yang harus dijaga
dan tidak boleh ditinggalkan walau hanya sejengkal, atau Ahok ini sudah
mengetahui dan menyadari bahwa aksi kontroversialnya ini pasti menambah banyak musuh bagi dirinya sehingga keamanan dan
keselamatannya adalah prioritas utama.
Jika seperti itu, kenapa Ia lakukan perilaku kontroversial
atau dengan kata lain lakukan sesuatu yang sudah menjadi wajar dan biasa itu
seandainya takut, meski itu tidak benar. Toh, Ia punya banyak pengawal baik dari
aparat sampai aparat-aparatan.
Seperti kasus kemarin, Kamis, 23 Juni 2016, saat Ahok
meresmikan Ruang Pelayanan Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kelurahan Penjaringan.
Kedatangannya ditolak warga yang sempat diwarnai dengan aksi lempar batu dan
gas air mata.
500 personel aparat beneran
diperintah mengamankan kedatangan Ahok, yang sebelumnya sudah diendus adanya
penolakan terhadap diri Ahok. Mereka, para Aparat Kepolisian dengan rela karena
tugas bertahan terhadap lemparan batu para warga.
Kerusuhan yang berakhir jam 18.00, akibat hujan deras
mengguyur wilayah sekitar, mungkin karena takut masuk angin karena kedinginan
atau memang batas akhir demonstrasi, atau mungkin
mereka lelah?
Lucu khan, Gubernur DKI Jakarta terpilih ditolak oleh
warganya yang telah memilihnya. Sebuah lelucon di negeri ini sedang
dipertontonkan dalam ruang demokrasi. Apa sebegitu zalimnya sosok Ahok ini? Jika
benar demikian kenapa perolehan KTP yang dikumpulkan oleh Temannya Ahok bisa mencapai 1 juta lebih? Hingga hampir memakan
korban dengan bunuh diri terjun bebas dari ketinggian Monas, karena sebuah
janji. Inilah dagelan demokrasi negeri ini.
Memang naiknya Ahok lantaran Jokowi sebagai pasangan calonya
naik promosi menjadi presiden,
sehingga Ia otomatis sebagai pasangan pemenang pemilu menggantikannya. Kalau sedari
dulu sosok Ahok ini memang tidak disukai, kenapa warga DKI memilih mereka, Jokowi-Ahok.
Jika kita tarik garis permasalahan lagi, apakah ini
merupakan kesalahan partai dalam memposisikan pasangan calon yang diusung, yang
hanya memperhatikan popularitas sosok
yang diusung untuk memenangkan pemilu.
Seorang pemimpin tidak perlu terlalu populis namun dicintai
oleh warganya. Popularitas pemimpin bukan dilihat dari ketenaran dia di
berbagai media, karena ia pemimpin bukan selebritis. Dukungan seharusnya muncul
dari bawah dengan sendirinya dan tidak perlu disuruh dan dibiayai milyaran
rupiah dalam mencari popularitasnya.
Kalem namun percaya diri dan yakin ia bisa memimpin sebuah
daerah. Tidak perlu arogan dalam memutuskan keadilan. Menerapkan segala aturan
dengan tepat dan benar. Sosok itulah sekiranya yang mampu memimpin DKI Jakarta
dengan baik.
Pertanyaannya adalah siapa dia? Tak lain adalah Djarot
Saiful Hidayat.
Penutup, yakinkan dan pahami diri kita untuk sosok Djarot. Kalau
perlu googling di internet tentang keperibadiannya
yang tidak melakukan kontroersial dalam mencari popularitas. Setelah anda
yakin, maka berteriaklah dengan keras di Jalan Teuku Umar, meminta sosok ini
untuk didukung oleh partainya. Sekarang atau kalian terlambat menyelamatkan
negeri Jakarta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar