Rabu, 22 Juni 2016

Go Djarot, Go Djakarta

Mari kita lebih cermat dan bijak memahami kondisi untuk Djakarta, Djarot berKarya untuk kiTa

Persaingan ketat menuju DKI 1 terjadi dalam ranah media, saling hujam pendapat untuk menjatuhkan satu persatu calon menjadi wacana media baik cetak dan online. Tebaran data dan fakta dilapangan kerap terjadi entah benar atau salah, untuk memanipulasi pencitraan yang dilakukan. Ya, sekali lagi sebuah kesan akan muncul dan terbelah menjadi good guy and bad guy.
Perolehan satu juta ktp yang menjadi obsesi salah satu kawan kami, yang tergabung dalam sebuah komunitas relawan Teman Ahok merupakan sebuah keberhasilan dan patut diancungi jempol, layaknya sebuah emoticon dalam message chat media social.
Man on TOP, Ahok, sapaan akrab Basuki Tjahja Purnama, menjadi seleb media, wajahnya tersebar dalam segala pemberitaan media cetak maupun online. Popularitas Ahok banyak diingat seluruh warga DKI Jakarta dari segala kalangan usia, dengan bantuan Teman Ahok.
Wacana pencitraan berubah haluan saat last minute perolehan satu juta KTP menjadi permusuhan. David versus Goliath dijadikan frame dalam tampilan drama politik. Ahok feat Teman Ahok sebagai David melawan PDI Perjuangan sebagai partai besar dan menjadi Goliath.

Ada apa dengan PDI P ?
PDI P sebagai juara umum dalam kompetisi pemilu tahun 2012, yang meraup 1,4 juta suara pemilih, dengan mengusung Jokowi-Ahok saat itu. Mungkin nggak, satu juta KTP yang menjadi acuan keberhasilan Teman Ahok mencari dukungan pada warga Jakarta adalah keberhasilan PDI Perjuangan dalam pemilu 2012.
Jika iya, sejak dari awal Teman Ahok menjadikan PDI Perjuangan sebagai rival dalam pertarungan ini. Namun, banyak politisi dari partai ini merepon datar terhadap fenomena  munculnya ahok dan keberhasilannya sebagai bagian dari demokrasi.
Meski, seperti yang kita ketahui bahwa Teman Ahok mengusung jalur pencalonan perseorangan atau independensi untuk Ahok agar duduk kembali dalam tahta pemerintahan di DKI Jakarta.
Lantas apa dong obsesi Teman Ahok saat parta Hanura, Nasional Demokrat, dan Golkar menyatakan diri sebagai partai pendukung ?
Saat perolehan satu juta KTP tercapai, Teman Ahok pun keblinger dengan keberhasilan yang mereka buat, dengan bermanuver tasyakuran di Singapura mereka tidak sadar apa yang mereka lakukan akan membawa interest public untuk menguak siapa dibalik Teman Ahok.
Diawali dengan media Tempo yang memberitakan aliran dana 20 milyar, kemudian berkembang menjadi 30 miliyar dari pengembang terbesar di Indoensia, Agung Podomoro melului Cyrus Network dengan melibatkan beberapa relasi dan staf khusus Ahok sendiri.
Aguan, pemilik Agung Podomoro yang getol dengan reklamasi pantai utara yang akan dijadikan pulau buatan, disebut-sebut telah mencairkan dana sebesar 30 milyar untuk Teman Ahok dalam menjalankan operasi KTP dalam memperoleh sejuta KTP untuk Ahok. Tentu semuanya tidak gratis, mereka, Agung Podomoro memberikan dengan maksud agar mega proyek reklamasi direstui oleh Ahok sebagai penguasa di DKI Jakarta.
Tak ayal lagi, dana sebesar itu tentu mampu membuka stan atau both di mall besar sekelas Jakarta, kota megapolitan, memberi gaji atau insentif atau apalah sebutannya untuk relawan Teman Ahok dalam bekerja mencari KTP, mereka juga blusukkan juga loh.
Personal Branding yang dilakukan Teman Ahok, gila-gilaan dan tentu mati-matian dalam menyebarluaskan personalisasi sosok Ahok. Loyalitaska mereka?
Sekali lagi ini sekedar alur berpikir, guy’s. Mari kita tengok langkah jagoan kita, Djarot Saiful Hidayat.
Djarot, pria kelahiran Gorontalo 1955 silam, perjalanan politiknya diawali sejak dirinya terpilih dalam pemilihan legislatif, atau pileg 1999 dan duduk di komisi A anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur. Sebelumnya sosok Djarot lebih dikenal dalam lingkungan civitas Universitas 17 Agustus 1945 sebagai dosen/guru besar dan merangkap sebagai Pembantu Rektor I.
Pada tahun 2000 pada Pemilihan Kepala Daerah di Blitar Jawa Timur, Djarot terpilih sebagai Walikota Blitar dengan masa jabatan 2000 sampai dengan 2010. Dalam masa jabatannya, Djarot lebih dekat dengan kalangan rakyat kecil dan kebijakkannya lebih berpihak rakyat kecil yang mayoritas daripada pada rakyat atas. Bagaimana keberhasilannya menata 1000 lebih pedagang kaki lima dalam penataan kota, yang mampu mendongkrak perekonomian Kota Blitar. Roda perekonomian kota berjalan meski tanpa kehadiran mall-mall besar dan gedung pencakar langit. Suksesnya Djarot dalam menata keberimbangan komunitas yang ada di Kota Blitar membawa namanya mendapatkan Penghargaan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah pada tahun 2008. Dia juga berhasil mendapatkan Penghargaan Terbaik Citizen’s Charter Bidang Kesehatan, dan Anugerah Adipura dalam 3 tahun berturut-turut, yakni 2006, 2007, dan 2008. (sumber http://profil.merdeka.com/indonesia/d/djarot-saiful-hidayat/).
Masih layakkah Djarot?
Kelayakan Djarot sebagai pemimpin terbukti saat dirinya terpilih kembali dalam pileg memperebutkan posisi sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia/DPR RI pada pemilu 2014-2019 denga perolehan suara 69.053 suara untuk daerah pemilihan Jawa Timur VI. Pribadi Dajrot yang lebih dekat dengan permasalahan wong cilik terkesan saat dirinya terlibat secara aktif sebagai koordinator tim kecil yang dibentuk untuk mengusut kasus Marsinah, buruh PT. Catur Putra Surya, Sidoarjo yang terbunuh secara misterius akibat menuntut perbaikan sistem upah yang layak.
Jabatan sebagai legislatif, dilepasnya saat instruksi dari Ketua Umum PDI Perjuangan memerintahkan untuk mengawal kekosongan Wakil Gubernur pemerintahan DKI Jakarta. Perintah langsung untuk menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Basuki Tjahja Purnama, lantaran Jokowi kader PDI Perjuangan sebagai Gubenur menjadi Presiden terpilih masa periode 2014-2019.
Nilai-nilai loyalitas terhadap partai melekat dalam pribadi Djarot, ia tidak mau melangkah jauh dari kehendak partai dan sangat menghargai mekanisme yang ada dalam sistem partai. Hal ini bukan berarti Djarot tidak memiliki ambisi, namun ia lebih memprioritaskan kepentingan yang lebih besar daripada kehendak pribadinya sendiri.
Terlihat, sampai detik ini Djarot lebih tenang dan kalem walau dirinya banjir dengan dukungan dari warga yang menginginkannya untuk kembali maju memimpin DKI. Sahabat Djarot melalui sebuah akun media sosial yang kali pertama menyatakan dirinya maju untuk DKI 1, kemudian Almisbat juga turut mendeklarasikan diri dalam dalam pencalonan Djarot,
Rasa simpatik terhadap Djarot juga diberikan oleh para Pewarta Foto dan Media, 1001 Rumah Relawan Djarot, Relawan Jokowi, Hingga sebuah komunitas Mahmud.
Sebuah komunitas yang memiliki 10 ribu anggota yang tergabung dalam Mahmud, kepanjangan Mamah Muda dalam sebuah acara yang digelar dalam acara Buka Bersama, Tasyakuran dan Santunan Yatim dan Dhuafa, Hotel Haris, Minggu, 19/6/2016, memberikan suaranya untuk Djarot, kelak.
Meski sudah banyak aspirasi untuk Djarot menjadi layak maju dalam Pilgub 2017 nanti, ia tetap saja mampu mengendalikan ego pribadi dengan tetap santun dan beretika dalam menanggapinya. Itulah sosok pribadi Djarot. Low Profile bukan berarti nggak populis, loh.
Loyalitas Djarot bukannya tidak beralasan ?
Sistem dan mekanisme Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dibangun bukan tanpa ujian, dan memang teruji. Beberapa kemenangan yang dicapai pemilu yang diselenggarakan didaerah dan kemenangan saat pemilihan presiden juga telah membuktikan bahwa PDI Perjuangan adalah partai pilihan.
Jika kita kembali pada tulisan diatas tentang orientasi Teman Ahok dengan menempatkan standar keberhasilan sama dengan perolehan PDI Perjuangan maka, tidak salah jika kita sedikit keluar dari pemahaman umum bahwa mereka ingin meruntuhkan sang Goliath.

Maka tidak salah jika Djarot memilih jalur partai meski sudah dirayu oleh Ahok, yang akhirnya Ahok pun memilih Heru sebagai pendampingnya. Itupun jika Ahok menang.
sumber http://godjarot.com/go-djarot-go-djakarta/

Tidak ada komentar: