Kopi dan Seksualitas
(Fenomena Warung Kopang dan Warung Ngosek)
Tulungagung, salah satu Kabupaten yang berada di Jawa
Timur, terkenal dari dulu dengan cethe-nya.
Keberadaan warung kopi disana sangat banyak dan menjamur, makanya jangan
coba-coba untuk menghitung jumlah warung kopi yang ada disana.
Sebetulnya di
Tulunagung, ada beberapa varian kopi
seperti kopi ijo, kopi gula abang, dan kopi yang lainnya, resep racikan dari
masing kopi tetap terjaga kerahasiaannya oleh sang peracik. Satu hal yang tidak
dapat dirubah oleh masyarakat dan menjadi trade
mark kota Tulungagung, yaitu kopi ijo dan budaya nyethe. Kedua hal itu
menjadi ciri khas kota tersebut, bahkan kalau saya boleh bilang bahwa itu
menjadi warisan budaya mereka,
masyarakat Tulungagung.
Daerah
ini merupakan penghasil batu marmer terbesar, sebuah barang tambang dengan
kandungan marmernya diperkirakan sebesar 382.050.000, jumlah yang tidak sedikit
dan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Bahkan oleh Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral, menyematkan predikat sebagi kota marmer.
Namun
masyarakat luas hanya mengenal Tulungagung hanya dengan warung kopi cethenya. Mengapa begitu?
Menurut
data dari survey yang dilakukan sebuah paguyuban, Pawahita (Paguyuban
Warung dan Hiburan se-Tulungagung), jumlah warung kopi di tulungagung sekitar 7.000 unit. Apabila terdapat 19 kecamatan, dengan 257 desa dan 14 kelurahan,
berarti rata-rata setiap desa atau kelurahan memiliki kurang lebih 25 warung kopi.
Semua
warung kopi yang berada di Tulungagung selalu ramai pengunjung. Padahal
rata-rata nilai warung kopi disana biasa saja. Didirikan semi permanen,
penataan interior dan fasilitas sekedarnya,
cukup meja dan tempat duduk yang terbuat dari kayu.
Ya, kopi ijo-lah yang menjadi primadona di
setiap warung kopi disana. Kopi ijo bukan merupakan varietas kopi yang lain,
tetapi kopi ijo merupakan kombinasi racikan dari bubuk kopi hitam, gula, dan
campuran kacang hijau yang dihaluskan, terkadang penyajiannya ditambah dengan
susu cair, dari berbagai merk.
Sesuai
hukum positif sebuah persaingan kompetitif, ketika jumlah permintaan sedikit
dari pada penawaran maka yang terjadi adalah penawaran yang kompetitif.
Pelayanan merupakan hal terpenting dalam suatu bisnis apapun. Pemberian servis digunakan sebagai salah satu cara
agar memenangkan persaingan. Hal itulah yang menjadi parameter dalam persaingan
kompetitif warung kopi di Tulungagung. Pramusaji yang muda dan cantik, juga
ramah. Plus, ketersediaan primadona
(selain Kopi Ijo-nya) yang bisa memberikan pelayanan yan lain, jadilah warung kopi plus-plus.
Pelayanan
dari para pramusaji ini bisa di mode dari nyablek
atau nyeples (pukulan dengan
menggunakan telapak tangan yang ditujukan pada pantat seseorang), mangku (duduk diatas paha pengunjung) sampai
esek-esek. Full Service, wow. Saking sering perilaku didalam warung tersebut
membawa istilah baru dalam bisnis warung kopi, Warung Kopang dan Warung
Ngosek. Konotasi ini dilayangkan oleh pengunjung atau masyarakat sekitar
dalam warung kopi yang juga menjalankan bisnis prostitusi terselubung dalam
kemasan ngopi.
Tidak
semua warung kopi yang ada di Tulungagung memakai jasa prostitusi untuk
meningkatkan penjualan kopinya. Ada beberapa daerah yang kerap sekali
membungkus prostitusi dalam bisnis ini, seperti di boyolangu ada,
sumbergempol, ngunut, kalidawir, karangrejo, moyoketen, tapi yang paling
banyak di area pasar ngemplak.
Dari beberapa daerah tersebut rujukan terbanyak ditujukan di pasar ngemplak. Disini, berbeda jauh
dengan warung kopi di daerah lainnya, tempat yang tadinya berjualan kebutuhan
pokok dan sayur mayur, di malam hari menjadi sebuah deretan warung kopi
lesehan, pengunjung duduk di atas alas tikar yang sudah disediakan oleh penjualnya.
Berarti aktifitas kopang dan ngosek-nya beralaskan tikar. Mak pleek, nyuss.
Pilihan
perempuan yang ditawarkan dalam aktifitas kopang
dan ngosek pada pengunjung
kebanyakan masih muda belia, mereka lebih dikenal dengan ciblek (cilik betah melek). Istilah tersebut sangat sesuai dengan
jam operasi kedua aktifitas ngopi ini dimulai, sekitar diatas jam 10 malam
hingga tutup.
Inilah
Indonesia, fenomena prostitusi hangat dibicarakan, dari kalangan bawah sampai
kalangan atas, pejabat dan artisnya, hmm.
Sebuah lingkar pelaku, penjaja seks, mucikari dan pelanggan, dengan motif yang
berbeda dari ketiganya
Ini
masih bisnis prostitusi masyarakat kelas menengah ke bawah dengan selimut
warung kopinya, apalagi bisnis prostitusi online dengan pejabat dan artis, wow. Namun masih ada yang lebih heboh,
mau tahu Robbi Abbas buka warung kopang dan pramusajinya Amel Alvi, kopi ijonya
jadi gak laku lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar