Selasa, 19 Mei 2015

Kopi dan Seksualitas



Kopi dan Seksualitas
(Fenomena Warung Kopang dan Warung Ngosek)


Tulungagung,  salah satu Kabupaten yang berada di Jawa Timur, terkenal dari dulu dengan cethe-nya. Keberadaan warung kopi disana sangat banyak dan menjamur, makanya jangan coba-coba untuk menghitung jumlah warung kopi yang ada disana.
Sebetulnya di Tulunagung, ada beberapa varian kopi seperti kopi ijo, kopi gula abang, dan kopi yang lainnya, resep racikan dari masing kopi tetap terjaga kerahasiaannya oleh sang peracik. Satu hal yang tidak dapat dirubah oleh masyarakat dan menjadi trade mark kota Tulungagung, yaitu kopi ijo dan budaya nyethe. Kedua hal itu menjadi ciri khas kota tersebut, bahkan kalau saya boleh bilang bahwa itu menjadi warisan budaya mereka, masyarakat Tulungagung.
Daerah ini merupakan penghasil batu marmer terbesar, sebuah barang tambang dengan kandungan marmernya diperkirakan sebesar 382.050.000, jumlah yang tidak sedikit dan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Bahkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menyematkan predikat sebagi kota marmer.
Namun masyarakat luas hanya mengenal Tulungagung hanya dengan warung kopi cethenya. Mengapa begitu?
Menurut data dari survey yang dilakukan sebuah paguyuban, Pawahita (Paguyuban Warung dan Hiburan se-Tulungagung), jumlah warung kopi di tulungagung  sekitar 7.000 unit. Apabila terdapat 19 kecamatan, dengan 257 desa dan 14 kelurahan, berarti rata-rata setiap desa atau kelurahan memiliki kurang lebih 25 warung kopi.
Semua warung kopi yang berada di Tulungagung selalu ramai pengunjung. Padahal rata-rata nilai warung kopi disana biasa saja. Didirikan semi permanen, penataan interior dan fasilitas sekedarnya, cukup meja dan tempat duduk yang terbuat dari kayu.
Ya, kopi ijo-lah yang menjadi primadona di setiap warung kopi disana. Kopi ijo bukan merupakan varietas kopi yang lain, tetapi kopi ijo merupakan kombinasi racikan dari bubuk kopi hitam, gula, dan campuran kacang hijau yang dihaluskan, terkadang penyajiannya ditambah dengan susu cair, dari berbagai merk.
Sesuai hukum positif sebuah persaingan kompetitif, ketika jumlah permintaan sedikit dari pada penawaran maka yang terjadi adalah penawaran yang kompetitif. Pelayanan merupakan hal terpenting dalam suatu bisnis apapun. Pemberian servis digunakan sebagai salah satu cara agar memenangkan persaingan. Hal itulah yang menjadi parameter dalam persaingan kompetitif warung kopi di Tulungagung. Pramusaji yang muda dan cantik, juga ramah. Plus, ketersediaan primadona (selain Kopi Ijo-nya) yang bisa memberikan pelayanan yan lain, jadilah warung kopi plus-plus.
Pelayanan dari para pramusaji ini bisa di mode dari nyablek atau nyeples (pukulan dengan menggunakan telapak tangan yang ditujukan pada pantat seseorang), mangku (duduk diatas paha pengunjung) sampai esek-esek. Full Service, wow. Saking sering perilaku didalam warung tersebut membawa istilah baru dalam bisnis warung kopi, Warung Kopang dan Warung Ngosek. Konotasi ini dilayangkan oleh pengunjung atau masyarakat sekitar dalam warung kopi yang juga menjalankan bisnis prostitusi terselubung dalam kemasan ngopi.
Tidak semua warung kopi yang ada di Tulungagung memakai jasa prostitusi untuk meningkatkan penjualan kopinya. Ada beberapa daerah yang kerap sekali membungkus prostitusi dalam bisnis ini, seperti di boyolangu ada, sumbergempol, ngunut, kalidawir, karangrejo, moyoketen, tapi yang paling banyak  di area pasar ngemplak. Dari beberapa daerah tersebut rujukan terbanyak ditujukan di pasar ngemplak. Disini, berbeda jauh dengan warung kopi di daerah lainnya, tempat yang tadinya berjualan kebutuhan pokok dan sayur mayur, di malam hari menjadi sebuah deretan warung kopi lesehan, pengunjung duduk di atas alas tikar yang sudah disediakan oleh penjualnya. Berarti aktifitas kopang dan ngosek-nya beralaskan tikar. Mak pleek, nyuss.
Pilihan perempuan yang ditawarkan dalam aktifitas kopang dan ngosek pada pengunjung kebanyakan masih muda belia, mereka lebih dikenal dengan ciblek (cilik betah melek). Istilah tersebut sangat sesuai dengan jam operasi kedua aktifitas ngopi ini dimulai, sekitar diatas jam 10 malam hingga tutup.
Inilah Indonesia, fenomena prostitusi hangat dibicarakan, dari kalangan bawah sampai kalangan atas, pejabat dan artisnya, hmm. Sebuah lingkar pelaku, penjaja seks, mucikari dan pelanggan, dengan motif yang berbeda dari ketiganya
Ini masih bisnis prostitusi masyarakat kelas menengah ke bawah dengan selimut warung kopinya, apalagi bisnis prostitusi online dengan pejabat dan artis, wow. Namun masih ada yang lebih heboh, mau tahu Robbi Abbas buka warung kopang dan pramusajinya Amel Alvi, kopi ijonya jadi gak laku lagi.

Tidak ada komentar: