Minggu, 03 Mei 2015

Aminah, Penjual Kopi Cinta



Aminah, Penjual Kopi Cinta

“Hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga”, begitulah sepenggal syair lagu dangdut terdengar dari sebuah radio, di sebuah warung kopi-Aminah, di perempatan jalan Kartini, sebelah selatan pagar Kantor Polres Jember. Lagu yang menohok hatiku dengan kehidupan yang tidak asing bagiku, tanpa pasangan dan cinta.
Dalam benakku kebertanya, “apa ada yang salah didiriku, sampai-sampai tidak ada satupun perempuan hadir dalam hidupku “, pikirku melayang, hingga tidak sadar, telah kuhabiskan waktu di bawah pohon belimbing, depan warung kopi Aminah, hanya untuk berpikir sesuatu yang masih jauh namun dekat dan sakit dihati, perempuan. Kumandang adzan Isya, mengingatkanku untuk beranjak. Ku bayar segelas kopi hitam dan dua batang Gudang Garam, lalu pergi ke mushola terdekat, yang tidak jauh dari warung, untuk sholat.
Panggilanku Bery, Umur 24 tahun, lajang, dalam proses selektif pemilihan perempuan [agar tampak wibawa], daripada kusematkan kata single alias jomblo. Actualy, aku tidak jelek, kulit kuning langsat, tinggi 165 cm, postur tubuhku proposional. Wajah tampak seperti keturunan Arab-Jawa. Jadi, hampir tidak ada kekurangannya, hanya saja ketika ada perempuan yang mendekatiku aku langsung lemas, keringat dingin keluar dari pori-poriku, detak jangtung dan nafas tidak teratur. Seperti orang berlari dikejar anjing Bulldog. Akhirnya, banyak dari temanku bilang, aku ini penakut, culun dan pastinya kata yang sangat aku benci yaitu: Jomblo abis, cuy.
Saya, mahasiswa semester 6, di Kampus Perjuangan Universitas Jember. Orang tua dan keluargaku berada di kota santri, Pasuruan, jauh dari mereka bagiku sebagai pengalaman hidup mandiri dengan uang saku pas-pasan, aku jalani setiap bulannya. Rutinitas sebagai mahasiswa, berangkat kuliah, nongkrong warung kopi Aminah, atau langsung pulang ke kos-kosan. aku lalui seperti kerbau dicucuk hidungnya, monoton.
Saya penikmat kopi, di warung kopi milik Aminah lah menjadi kesukaanku, kopi hitam yang murah, dan tempat asyik untuk nongkrong malam. Maklum, jam buka habis sore hari dan tutup hingga dini hari. Selain itu, gadis desa ayu rupawan, Aminah, anak tunggal dari bapak Amin dan ibu Minah, membantu orang tuanya menjual kopi, melayani mereka yang datang ke warung, dengan senyum manisnya.
Merenung, menggali potensi positif yang kumiliki, dan tidak ada salahnya aku kembangkan. Ya. ide menggambar dan puisi, tanpa berpikir panjang, aku merogoh dalam tasku sebuah pensil dan selembar kertas. Pertama, aminah, korban pertamaku, yang kujadikan dia sebagai objek gambaranku, sedikit kusisipkan sebuah puisi tentang sosok perempuan penjual kopi, lemah gemulai, lentik jarinya menari diatas cangkir, senyum manis bibirnya melenyapkan dahaga. Meneduhkan hati, setiap insan. jiwa seni ini sudah lama terpendam sejak kecil, turunan dari kakekku.
Kini, ada yang mengisi kekosongan jiwaku, lewat menggambar dan puisi aku bisa merasakan cinta, kasih sayang meski masih jomblo, sudahlah. Kuhasilkan karya lewat bidikan mata serta goresan pensil hitamku. Keceriaan tersirat dari wajahku saat bercermin, dan aku berkata :”...kamu tidak sendiri dan kamu hebat”, ucapku. Sambil memegang pensil hitam kesayanganku, dan kutunjukkan ke hadapan cermin. Perubahan terjadi dalam hidupku, sudah jarang melamun.
Sengaja pergi ke kampus, meski tidak ada jadwal kuliah hari ini, untuk mencari objek gambarku. Kulangkahkan kaki dengan santai dari kos-kosan menuju kampus, di jalanan kulihat banyak pasangan pejalan kaki melintas dipinggirku, lalu lalang. aku berguman dalam hati, “mungkin besok mereka putus, dan aku yang menggantikannya”. Selorohku dalam hati. “Amin”, jawabku. Bola mataku bergerak kiri-kanan, melihat banyak pasangan pejalan kaki yang melintas, hingga tidak sadar aku melewati sebuah papan pengumuman yang firasatku mengatakan, ada berita penting!. Bergegas membalikkan badan menuju papan pengumuman tersebut.
Aha. Ini yang kucari, lomba menggambar dengan tema sosial, tertulis batas waktu pendaftran tinggal 3 hari lagi, ada reward bagi pemenang senilai 1.5 juta rupiah. Segera aku pergi ke sekretariatan tempat lomba itu diadakan, untuk mendaftar diri. Terlihat dari jauh kerumunan orang, tempat pendaftaran lomba, aku ambil antrian untuk sebuah lembar formulir pendaftaran, seorang perempuan yang ayu rupawan dimeja panitia, hmm. Tiba giliranku, perempuan itu menyodorkan lembaran formulir, tapi aku hanya terdiam gemetar, “grogiku kambuh!”, keringat dingin bercucuran. “Astaga, kenapa kambuh lagi”, segera aku sambar formulir itu dan berucap, “Suwun, mbak”, ucapku, sambil berlari meninggalkan panitia tersebut.
Ya wes, yang penting aku mendapatkan formulir itu. aku tulis jawaban pada setiap kolom pertanyaan dalam formulir, sesekali membayangkan wajah ayu rupawan panitia lomba itu. Selesai aku kerjakan, beranjak dari dudukku untuk menyerahkan formulir pendaftaran kepada panitia lomba, sebelumnya, kulihat kembali formulirnya, khawatir ada yang terlewati. Beres sudah, aku rapikan peralatan tulis, dan pergi menyerahkan formulir. “Oh, my God”, terkejut. perempuan itu masih disana. Ya. Perempuan Panitia Lomba, begitulah sementara aku menyebutnya.
Terpaksa, aku harus menguatkan diri mengatur strategi. Pertama, aku berlari cepat menuju meja panitia lalu menyerahkan formulir itu tanpa berhenti berlari. Kedua, aku titipkan sama peserta lain. Ketiga, aku pulang saja dan mengundurkan diri sebelum perang. Strategi mana yang aku pilih, yang pertama, beresiko atas keselamatan diri dan orang lain. Kedua, ini kompetisi jika orang yang aku titipin curang, bisa saja formulirku dibuang ditempat sampah. Ketiga, bukan gw banget gitu loh. Akhirnya, setelah lama berpikir aku putuskan, berjalan pelan-pelan, sewajarnya dan menyerahkan formulir pada perempuan panitia lomba itu.
Aku berjalan pelan sewajarnya, dibelakang seseorang orang, tertutup. Jarak semakin dekat dengan meja panitia, langsung aku sodorkan formulir ke meja dengan tetap dibelakang orang lain dan tetap berjalan tepat dibelakang orang lain itu, segera balik badan dan pergi, tetap tepat dibelakang orang lain. Banyak mata melihat aksiku meski orang didepanku tidak menyadarinya, oh, Perempuan Panitia Lomba.
Waktu, sudah jam 4 sore, dan terdengar adzan Ashar, bergegas aku menuju masjid kampus terdekat untuk menunaikan ibadah. Selesai sholat, aku langsung pulang, dan time to break. Melepas lelah didalam kamar kos, memberi makan dua ikan lohan, dan mendengarkan lagu Iwan Fals. Sang Rembulan Malam menghabiskan satu album Iwan Fals dengan manisnya, memaksaku keluar dari ruang kecil, kamarku. Menarikku kuat ke teras rumah kos ku, lalu duduk di kursi. Ditemani kopi hitam, Mantap dan sebungkus rokok Gudang Garam, aku duduk membayangkan hari esok, perhelatan akbar se Kampus Perjuangan digelar. Menjadi pemenang atau tidak, bukanlah tujuanku hanya ingin mengukur keahlian menggambarku, saja. Waktu terus berlalu hingga esok.
Ayam jantan tetangga, berkokok. Mentari pagi menjelang, day of the day’s for proved my self if i’m a winner. Kompetisi, pertama kali aku ikuti dalam hidupku, sebelumnya tidak pernah ikut lomba atau kompetisi apapun. Just one. Nebeng sama teman menuju rektorat kampus, tempat lomba itu diadakan, berikut supporter pendukung, teman cowok satu indekost denganku, yang mendukungku. Berempat kami menuju tempat lomba, sesekali bernyari sorak-sorai lirik lagu we are the champions. Sesampainya disana, kulangkahkan kakiku menuju bangku peserta, deretan pertama, Sebelum acara dimulai, aku menyiapkan peralatan perangku. Beberapa pensil, penghapus, penggaris dan alas menggambar. Satu per satu kukeluarkan dari dalam coklatku, lalu berdo’a.
Selang 15 menit, Seorang perempuan maju ke podium, dihadapan para peserta dan membacakan susunan acara yang dimulai dari sambutan ketua rektorat, panitia lalu do’a bersama. “wuih, untung bukan perempuan itu”. Gumanku. Tiba-tiba setelah selesai rektorat membacakan sambutannya, sosok perempuan panitia itu menuju podium ternyata perempuan itu sebagai ketua penyelenggara lomba ini. Anehnya, penyakit grogiku tidak menggangguku. Semacam energi positif mengalir memberiku dorongan, akulah pemenangnya. Aneh. Mungkinkah ini pertanda aku pemenang lomba ini? Atau malah awal mimpi buruk? Tidak seperti biasanya?. Sama sekali, aku tidak mendengar sambutan perempuan itu, aku hanya memikirkan hal aneh, tidak seperti yang sudah terjadi.
“Akh, sudahlah” aku harus fokus pada lomba ini. Sesi berdo’a bersama telah dimulai, kami peserta lomba berdo’a dengan khidmat untuk berlangsungnya acara lomba dengan sukses, dan untuk harapan para peserta.
Gong...gong..gong, suara gong ditabuh pertanda acara lomba menggambar dimulai. Kukerahkan semua fokus perhatian pada selembar kertas putih. Begitu lama aku memandang kertas putih, dan tak satupun coretan yang tergores. Sekilas, sosok wajah perempuan terlintas dipikiranku. Sangat jelas. rupa wajah itu tidak asing bagiku, dia adalah Aminah, penjual kopi di perempatan Jalan Kartini, tergambar rupa wajah aminah sedang membuat kopi hitam khas buatannya, untukku. Bukan sekedar sosok aminah, bahkan setiap sudut ruang warung itu, terlihat jelas. Disitulah aku memulai menggambar.
Kulihat Alba ditanganku, menunjukkan angka 3, sudah 2 jam berlalu. Hanya tinggal sedikit merapikan saja, dan, selesai. Kurapikan peralatan menggambarku dan beranjak dari dudukku untuk menyerahkan hasil karyaku kepada panitia.  Kutengok kiri kanan, depan-belakang tidak nampak perempuan itu di meja panitia, segera aku serahkan lalu pergi. Tidak jauh dari membalikkan badan, terasa ada yang menepuk pundakku dan berkata, “Mas Bery, sebentar” Aminah, ya suara itu aku sangat kenal, itu pasti aminah, lalu aku membalikkan badan. Ternyata, “Astaga, Perempuan Panitia Lomba”. Belum sempat aku berpikir, perempuan itu berkata, “Aku Aminah, mas. Penjual kopi”. Alangkah terkejutnya diriku, memang selama ini, aku ngopi, dan menggambarnya dirinya, jarang sekali aku menatapnya. Ia menyodorkan selembar kertas putih yang berisi lukisan dirinya dan sepotong puisi. Dalam hati, “Ini milikku, ya aku ingat ini gambar dirinya yang hilang”. Terasa berat tangannya mengembalikan gambar itu.  Lukisan gambar tentang dirinya lah ide lomba ini diadakan. Bangga, senang dan bahagia aku mendengar penuturan Aminah, berdua kita ngobrol dibawah pohon belimbing, disamping gedung rektorat. Dari situlah kedekatan terjalin diantara kami berdua.
Terdengar suara penitia dari sound system sedang membacakan hasil pemenang, memecahkan suasana romantis kami. Tersiar bahwa nama Bery Kusuma pemenangnya, aku dan aminah gembira dan tak sadar kami saling berpelukan, bahagia. Oh, Tuhan. Diri ini nista, meragukan ayat-ayat Mu dan merendahkan rahmat dan kasih-MU, untukku. Terjebak dalam keputusasaan. Dalam jeruji prasangka, Ampunilah diriku ini Ya Tuhan. Kini, ku jemput kemenangan atas mama cinta dan keberanian. Kucipta, syair kemenangan, untukmu, Aminah.

Biodata Penulis


Nama Lengkap                : Tejo Lumaksono Adi
Nama Pena                      : Tejo
Akun Twitter                   : twitter.com/raffimaliq_da
Akun Facebook               : raffimaliqdimitriadi@facebook.com
Instagram                         :
Alamat Email                   : raffimaliqdimitriadi@yahoo.co.id
Alamat Lengkap             : Jalan Mayjen Sutoyo No. 68 Rt/Rw. 04/02
                                            Kel. Patokan Kec. Krakasaan, Probolinggo.
                                            Jawa Timur
Nomor Hp                        : 081339309776


Tidak ada komentar: