Aminah, Penjual Kopi Cinta
“Hidup tanpa cinta, bagai taman tak berbunga”, begitulah sepenggal syair lagu dangdut terdengar dari
sebuah radio, di sebuah warung kopi-Aminah, di perempatan jalan Kartini, sebelah
selatan pagar Kantor Polres Jember. Lagu yang menohok hatiku dengan kehidupan
yang tidak asing bagiku, tanpa pasangan dan cinta.
Dalam benakku kebertanya, “apa ada yang salah didiriku, sampai-sampai
tidak ada satupun perempuan hadir dalam hidupku “, pikirku melayang, hingga
tidak sadar, telah kuhabiskan waktu di bawah pohon belimbing, depan warung kopi
Aminah, hanya untuk berpikir sesuatu yang masih jauh namun dekat dan sakit
dihati, perempuan. Kumandang adzan Isya, mengingatkanku untuk beranjak. Ku
bayar segelas kopi hitam dan dua batang Gudang Garam, lalu pergi ke mushola
terdekat, yang tidak jauh dari warung, untuk sholat.
Panggilanku Bery, Umur
24 tahun, lajang, dalam proses selektif pemilihan perempuan [agar tampak wibawa],
daripada kusematkan kata single alias jomblo. Actualy, aku tidak jelek, kulit kuning langsat, tinggi 165 cm, postur
tubuhku proposional. Wajah tampak seperti keturunan Arab-Jawa. Jadi, hampir
tidak ada kekurangannya, hanya saja ketika ada perempuan yang mendekatiku aku
langsung lemas, keringat dingin keluar dari pori-poriku, detak jangtung dan
nafas tidak teratur. Seperti orang berlari dikejar anjing Bulldog. Akhirnya, banyak
dari temanku bilang, aku ini penakut, culun dan pastinya kata yang sangat aku
benci yaitu: Jomblo abis, cuy.
Saya, mahasiswa
semester 6, di Kampus Perjuangan Universitas Jember. Orang tua dan keluargaku
berada di kota santri, Pasuruan, jauh dari mereka bagiku sebagai pengalaman
hidup mandiri dengan uang saku pas-pasan, aku jalani setiap bulannya. Rutinitas
sebagai mahasiswa, berangkat kuliah, nongkrong warung kopi Aminah, atau langsung pulang ke kos-kosan. aku
lalui seperti kerbau dicucuk hidungnya, monoton.
Saya penikmat kopi,
di warung kopi milik Aminah lah menjadi kesukaanku, kopi hitam yang murah, dan
tempat asyik untuk nongkrong malam. Maklum, jam buka habis sore hari dan tutup
hingga dini hari. Selain itu, gadis desa ayu rupawan, Aminah, anak tunggal dari
bapak Amin dan ibu Minah, membantu orang tuanya menjual kopi, melayani mereka
yang datang ke warung, dengan senyum manisnya.
Merenung, menggali potensi
positif yang kumiliki, dan tidak ada salahnya aku kembangkan. Ya. ide menggambar
dan puisi, tanpa berpikir panjang, aku merogoh dalam tasku sebuah pensil dan
selembar kertas. Pertama, aminah, korban pertamaku, yang kujadikan dia
sebagai objek gambaranku, sedikit kusisipkan sebuah puisi tentang sosok
perempuan penjual kopi, lemah gemulai,
lentik jarinya menari diatas cangkir, senyum manis bibirnya melenyapkan dahaga.
Meneduhkan hati, setiap insan. jiwa
seni ini sudah lama terpendam sejak kecil, turunan dari kakekku.
Kini, ada yang
mengisi kekosongan jiwaku, lewat menggambar dan puisi aku bisa merasakan cinta,
kasih sayang meski masih jomblo, sudahlah.
Kuhasilkan karya lewat bidikan mata serta goresan pensil hitamku. Keceriaan
tersirat dari wajahku saat bercermin, dan aku berkata :”...kamu tidak sendiri dan kamu hebat”, ucapku. Sambil memegang
pensil hitam kesayanganku, dan kutunjukkan ke hadapan cermin. Perubahan terjadi
dalam hidupku, sudah jarang melamun.
Sengaja pergi ke
kampus, meski tidak ada jadwal kuliah hari ini, untuk mencari objek gambarku. Kulangkahkan
kaki dengan santai dari kos-kosan menuju kampus, di jalanan kulihat banyak
pasangan pejalan kaki melintas dipinggirku, lalu lalang. aku berguman dalam
hati, “mungkin besok mereka putus, dan
aku yang menggantikannya”. Selorohku dalam hati. “Amin”, jawabku. Bola mataku bergerak kiri-kanan, melihat banyak pasangan
pejalan kaki yang melintas, hingga tidak sadar aku melewati sebuah papan
pengumuman yang firasatku mengatakan, ada
berita penting!. Bergegas membalikkan badan menuju papan pengumuman
tersebut.
Aha. Ini yang
kucari, lomba menggambar dengan tema sosial, tertulis batas waktu pendaftran
tinggal 3 hari lagi, ada reward bagi
pemenang senilai 1.5 juta rupiah. Segera aku pergi ke sekretariatan tempat lomba
itu diadakan, untuk mendaftar diri. Terlihat dari jauh kerumunan orang, tempat
pendaftaran lomba, aku ambil antrian untuk sebuah lembar formulir pendaftaran,
seorang perempuan yang ayu rupawan dimeja panitia, hmm. Tiba giliranku,
perempuan itu menyodorkan lembaran formulir, tapi aku hanya terdiam gemetar, “grogiku kambuh!”, keringat dingin
bercucuran. “Astaga, kenapa kambuh lagi”,
segera aku sambar formulir itu dan berucap, “Suwun,
mbak”, ucapku, sambil berlari meninggalkan panitia tersebut.
Ya wes, yang penting aku mendapatkan
formulir itu. aku tulis jawaban pada setiap kolom pertanyaan dalam formulir,
sesekali membayangkan wajah ayu rupawan
panitia lomba itu. Selesai aku kerjakan, beranjak dari dudukku untuk menyerahkan
formulir pendaftaran kepada panitia lomba, sebelumnya, kulihat kembali formulirnya,
khawatir ada yang terlewati. Beres sudah,
aku rapikan peralatan tulis, dan pergi menyerahkan formulir. “Oh, my God”, terkejut. perempuan itu masih
disana. Ya. Perempuan Panitia Lomba,
begitulah sementara aku menyebutnya.
Terpaksa, aku harus
menguatkan diri mengatur strategi. Pertama, aku berlari cepat menuju meja
panitia lalu menyerahkan formulir itu tanpa berhenti berlari. Kedua, aku
titipkan sama peserta lain. Ketiga, aku pulang saja dan mengundurkan diri
sebelum perang. Strategi mana yang
aku pilih, yang pertama, beresiko atas keselamatan diri dan orang lain. Kedua,
ini kompetisi jika orang yang aku titipin
curang, bisa saja formulirku dibuang ditempat sampah. Ketiga, bukan gw banget gitu loh. Akhirnya,
setelah lama berpikir aku putuskan, berjalan pelan-pelan, sewajarnya dan
menyerahkan formulir pada perempuan panitia lomba itu.
Aku berjalan pelan
sewajarnya, dibelakang seseorang orang, tertutup.
Jarak semakin dekat dengan meja panitia, langsung aku sodorkan formulir ke meja
dengan tetap dibelakang orang lain dan tetap berjalan tepat dibelakang orang
lain itu, segera balik badan dan pergi, tetap tepat dibelakang orang lain.
Banyak mata melihat aksiku meski orang didepanku tidak menyadarinya, oh, Perempuan Panitia Lomba.
Waktu, sudah jam 4
sore, dan terdengar adzan Ashar, bergegas aku menuju masjid kampus terdekat
untuk menunaikan ibadah. Selesai sholat, aku langsung pulang, dan time to break. Melepas lelah didalam
kamar kos, memberi makan dua ikan lohan,
dan mendengarkan lagu Iwan Fals. Sang
Rembulan Malam menghabiskan satu
album Iwan Fals dengan manisnya, memaksaku keluar dari ruang kecil, kamarku.
Menarikku kuat ke teras rumah kos ku, lalu duduk di kursi. Ditemani kopi hitam,
Mantap dan sebungkus rokok Gudang Garam, aku duduk membayangkan hari esok,
perhelatan akbar se Kampus Perjuangan digelar. Menjadi pemenang atau tidak,
bukanlah tujuanku hanya ingin mengukur keahlian menggambarku, saja. Waktu terus
berlalu hingga esok.
Ayam jantan
tetangga, berkokok. Mentari pagi menjelang, day
of the day’s for proved my self if i’m a winner. Kompetisi, pertama kali
aku ikuti dalam hidupku, sebelumnya tidak pernah ikut lomba atau kompetisi
apapun. Just one. Nebeng sama teman menuju rektorat
kampus, tempat lomba itu diadakan, berikut supporter pendukung, teman cowok
satu indekost denganku, yang mendukungku. Berempat kami menuju tempat lomba,
sesekali bernyari sorak-sorai lirik lagu we
are the champions. Sesampainya disana, kulangkahkan kakiku menuju bangku
peserta, deretan pertama, Sebelum acara dimulai, aku menyiapkan peralatan perangku. Beberapa pensil, penghapus, penggaris
dan alas menggambar. Satu per satu kukeluarkan dari dalam coklatku, lalu
berdo’a.
Selang 15 menit, Seorang
perempuan maju ke podium, dihadapan para peserta dan membacakan susunan acara
yang dimulai dari sambutan ketua rektorat, panitia lalu do’a bersama. “wuih, untung bukan perempuan itu”.
Gumanku. Tiba-tiba setelah selesai rektorat membacakan sambutannya, sosok
perempuan panitia itu menuju podium ternyata perempuan itu sebagai ketua
penyelenggara lomba ini. Anehnya, penyakit
grogiku tidak menggangguku. Semacam energi positif mengalir memberiku dorongan, akulah pemenangnya. Aneh. Mungkinkah ini pertanda aku
pemenang lomba ini? Atau malah awal mimpi buruk? Tidak seperti biasanya?. Sama
sekali, aku tidak mendengar sambutan perempuan itu, aku hanya memikirkan hal
aneh, tidak seperti yang sudah terjadi.
“Akh, sudahlah” aku harus fokus pada lomba ini. Sesi berdo’a bersama
telah dimulai, kami peserta lomba berdo’a dengan khidmat untuk berlangsungnya acara
lomba dengan sukses, dan untuk harapan para peserta.
Gong...gong..gong, suara gong ditabuh pertanda acara lomba menggambar
dimulai. Kukerahkan semua fokus perhatian pada selembar kertas putih. Begitu
lama aku memandang kertas putih, dan tak satupun coretan yang tergores.
Sekilas, sosok wajah perempuan terlintas dipikiranku. Sangat jelas. rupa wajah itu
tidak asing bagiku, dia adalah Aminah, penjual kopi di perempatan Jalan Kartini,
tergambar rupa wajah aminah sedang membuat kopi hitam khas buatannya, untukku.
Bukan sekedar sosok aminah, bahkan setiap sudut ruang warung itu, terlihat jelas.
Disitulah aku memulai menggambar.
Kulihat Alba ditanganku, menunjukkan angka 3, sudah 2 jam berlalu. Hanya tinggal sedikit
merapikan saja, dan, selesai. Kurapikan peralatan menggambarku dan beranjak
dari dudukku untuk menyerahkan hasil karyaku kepada panitia. Kutengok kiri kanan, depan-belakang tidak
nampak perempuan itu di meja panitia, segera aku serahkan lalu pergi. Tidak
jauh dari membalikkan badan, terasa ada yang menepuk pundakku dan berkata, “Mas Bery, sebentar” Aminah, ya suara
itu aku sangat kenal, itu pasti aminah, lalu aku membalikkan badan. Ternyata, “Astaga, Perempuan Panitia Lomba”. Belum
sempat aku berpikir, perempuan itu berkata, “Aku
Aminah, mas. Penjual kopi”. Alangkah terkejutnya diriku, memang selama ini,
aku ngopi, dan menggambarnya dirinya,
jarang sekali aku menatapnya. Ia menyodorkan selembar kertas putih yang berisi lukisan
dirinya dan sepotong puisi. Dalam hati, “Ini
milikku, ya aku ingat ini gambar dirinya yang hilang”. Terasa berat
tangannya mengembalikan gambar itu. Lukisan
gambar tentang dirinya lah ide lomba ini diadakan. Bangga, senang dan bahagia
aku mendengar penuturan Aminah, berdua kita ngobrol
dibawah pohon belimbing,
disamping gedung rektorat. Dari situlah kedekatan terjalin diantara kami
berdua.
Terdengar suara
penitia dari sound system sedang
membacakan hasil pemenang, memecahkan suasana romantis kami. Tersiar bahwa nama
Bery Kusuma pemenangnya, aku dan aminah gembira dan tak sadar kami saling
berpelukan, bahagia. Oh, Tuhan. Diri ini
nista, meragukan ayat-ayat Mu dan merendahkan rahmat dan kasih-MU, untukku. Terjebak
dalam keputusasaan. Dalam jeruji prasangka, Ampunilah diriku ini Ya Tuhan.
Kini, ku jemput kemenangan atas mama cinta dan keberanian. Kucipta, syair
kemenangan, untukmu, Aminah.
Biodata Penulis
Nama
Lengkap : Tejo Lumaksono Adi
Nama
Pena : Tejo
Akun
Twitter : twitter.com/raffimaliq_da
Akun
Facebook
: raffimaliqdimitriadi@facebook.com
Instagram :
Alamat
Email : raffimaliqdimitriadi@yahoo.co.id
Alamat Lengkap : Jalan Mayjen Sutoyo No. 68 Rt/Rw. 04/02
Kel. Patokan Kec. Krakasaan,
Probolinggo.
Jawa
Timur
Nomor
Hp :
081339309776
Tidak ada komentar:
Posting Komentar