Permainan Anak versus Pembangunan
(part 1, Game
online dan Tradisional)
Seiring roda
waktu terus berjalan, kemajuan teknologi dan pembangunan menggerus lahan dan
ruang kosong untuk generasi penerus. Alih-alih untuk kemajuan dan pemerataan
kesejahteraan masyarakat mereka mengambil ruang ekspresi dan bermain anak-anak,
dan digantikan dengan sebuah teknologi terapan berbentuk mini, game online. Tentu
permainan ekspresi ini menggeser sebuah nilai-nilai perkembangan mental anak,
dan tentunya membutuhkan biaya untuk memainkannya, lain halnya dengan permainan
tradisional yang relatif murah dan mebaur dengan alam.
Single dan
multiplayer merupakan mode permainan yang bisa kita jalankan dengan variasi
jenis permainan yang mendidik namun, yang harus kita pikirkan adalah berapa
anak yang bisa menikmati fasilitas permainan tersebut. Pertama, harus membeli
perangkat keras seperti i-pad, smartphone, computer dan lain sebagainya dan
harus terintegrasi dengan jaringan internet yang juga membutuhkan biaya. Kedua,
topografi tempat anak tersebut tinggal yang sinyal jaringan internetnya
terbatas. Ketiga, akses internet yang tanpa batas membahayakan perkembangan perilaku
dan mental anak. Keempat, dengan fasilitas tersebut, meski dimainkan dengan
mode multiplayer anak tetap berkomunikasi bukan dengan cara komunikasi verbal
sehingga anak tetap bermain sendiri, dalam ruang kosong tanpa ekspresi.
Diakui dalam
game online, banyak stimulus yang membangkitkan kreatifitas anak. Perkembangan otak
kanan anak dirangsang melalui atraksi dalam setiap permainan, konsep, strategi,
aksi, dan ekspresi dan semua hal itu direkam dalam memori jangka panjang
sehingga orang tua harus hati-hati dalam memilih permainan untuk anak mereka. Orang
tua harus selektif dalam memilih dan memilah jenis permainan, karena bayak
ragam yang ditawarkan pengembang game online dari hal action, arcade, dan
strategi karena daya merekam dan menyimpan otak kanan untuk jangka panjang
itulah akan mempengaruhi perkembangan mental dan perilaku anak.
Lain halnya
dengan tradisional, ekspresi dibentuk dalam ragam komunikasi verbal, interaksi
antar teman, logika, analisa, kekompakan tim, serta rasa pertemanan dan
kegembiraan mereka rasakan bersama dalam sebuah permainan. Murah, dan guyub dalam suatu permainan itulah yang
ditawarkan dalam permainan tradisional. Petak umpet, engklek, kelereng, petel
lele/gatrik, benteng, egrang, kasti, lompat tali, ular naga, congklak, bekel,
pletokan, gasing, layangan balap karung dan yang lainnya dalam istilah daerah
masing-masing. Permainan tradisional ini tidak hanya dimainkan oleh 2-5 orang
saja namun bisa beramai-ramai di lahan kosong. Mungkin tidak semenarik dalam permainan
online, virtualisasi gambar, aksi yang melampau batas, heroik dan jagoan. Tapi,
permainan ini dilakukan secara manual dan kelompok, gaya bahasa yang dilontarkan
adalah gaya bahasa teman sebaya, membangun rasa sosial, kebersamaan,
kekompakan, dan toleransi untuk merangsang mental anak untuk peduli dengan
sesama.
Karena permainan
tradisional banyak dilakukan lebih dari 5 orang secara bersama-sama maka banyak
membutuhkan lahan/lapangan luas untuk ruang gerak permainan. Namun, di kota
lahan itu tergerus oleh pembangunan, tidak ada lagi ruang kosong di kota besar
yang memungkinkan anak bermain bebas, riang dan gembira akhirnya mereka bermain
di sembarang tempat yang membahayak keselamatan jiwa anak. Sering kita jumpai
di lingkungan sekitar anak bermain layangan, dipinggir jalan tol dan diatas
genting rumah karena sempitnya lahan untuk mereka memainkan permainan tersebut.
Sungguh ironis
bahwa kemajuan tenologi dan pembangunan tidak memeperhatikan lagi ruang gerak
untuk anak bisa bermain bebas, dekat dengan lingkungan yang bebas dari polusi, bebas
arus lalu lintas, yang aman bagi keselamatan anak. Tercermin dari perilaku
remaja mereka yang dipaksa untuk menajdi manusia yang sekuler, egois, teman
yang segelintir lidi, dan sikap yang asusila jauh dari norma dan batas
masyarakat. #saveourchild
Tidak ada komentar:
Posting Komentar