Kamis, 28 Mei 2015

Pelacuran dalam Kotak Megapolitan (Lendir yang tidak pernah kering)



Pelacuran dalam Kotak Megapolitan
(Lendir yang tidak pernah kering)

Dalam sebuah kontek masa lalu dan kekinian rupa pelacuran ibarat sebuah metamorfosis jaman. Sejarah telah membuktikan sejak jaman para nabi hingga sekarang hal itu seperti lendir yang tidak pernah kering, dia akan mengikuti jamannya dengan segala rupa yang dikehendakinya.

Jakarta, sebuah kota metropolis dan juga merupakan jantung dari segala aktifitas jaman tersaji lengkap dengan bumbu romansanya. Kerap sekali menjadi problematika kehidupan yang tidak ada matinya , menjadi kota 1001 malamnya di Indonesia membuatnya memiliki politik kekuasaan yang tidak terbatas.
Hiruk-pikuk dan hingar-bingar manusia didalamnya terorganisir dalam sistem masyarakat yang kompleks, disisi lain anomali kehidupan pasti terjadi, jenuh. Siapapun yang menjadi punggawa atas keramaian itu pastilah orang yang terpilih dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Prostitusi, atau pelacuran pasti merupakan bagian dari permasalahan yang ada, bukanlah sekedar sebagai profesi yang harus dijalani, atau karena desakan kebutuhan yang harus dipenuhi, atau juga karena sebuah pengkhianatan cinta, melainkan pelacuran sebagai sebuah gaya hidup manusia-manusia jaman mega-politan.
Mau yang online, atau disajikan dalam ruang kaca display, atau yang berkeliaran di atas bibir-bibir jalanan, itu semua menurut kesesuaiannya dengan apa yang kita miliki dalam kantung koin emas kita.
Local product, atau made in western, hanyalah sekedar lapisan kulit dan warna, cita rasa dan sensasinya yang menempel pada daging yang membungkus tulang-tulang tak berjiwa.
Free style, gangbang, thereesome, swing adalah metode dari ketidakpuasan akal terhadap perilaku seks yang monoton.
Ada artis, Janda Muda nan Bohay, tante Sosialita, Om-om genit, sekedar perangkat sosial yang nempel dalam strata masyarakat semata. Toh, hasilnya sama?
Semuanya sudah ada sejak dulu, dalam sebuah kitab kuno kamasutra, kepuasan berada dalam alam pikiran kita. Cinta dan kasih sayang, merupakan kunci menuju puncak kenikmatan. Jadi, apakah pasangan anda hari ini adalah jodoh anda?
Tetaplah pelacuran masih ada demi menjaga kesimbangan alam dan habitatnya, kita tidak akan pernah mampu menghilangkan itu. Karena pelacuran memiliki dimensi ruang dan waktu yang tidak terbatas. Dia bisa merubah diri sesuai apa yang oleh jaman kehendaki.
Keberadaan  pelacuran di mega-politan, Jakarta, sudah ada sejak tahun 1625. Gemerlap kehidupan malam yang erotis hingga jaman sekarang masih menghiasi kehidupan Jakarta. Bahkan Leonard Blusse, Profesor dari negeri Kincir Angin, dalam karya bukunya yang berjudul Persekutuan Aneh, pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia, LKIS Jogjakarta, dia menulis bahwa kota Batavia yang berdiri di tahun 1619, 7 tahun setelah berdirinya kota tersebut 1625 rumah-rumah  pelacuran ikut berdiri.
Segala kisah diceritakan dalam bukunya mulai dari kisah Maria yang mengadukan Manuel, suaminya lantaran ia dan seorang pribumi dipaksa melacur. Kisah Valdero, sebagai mucikari terkaya, pada masa itu, hingga akhirnya sebuah undang-undang pelacuran dibuat namun, tetap tidak mampu membatasi ruang gerak ereksi yang terjadi. Aturan yang tidak jelas.
Celoteh pelacuran bukanlah barang baru, semuanya adalah suatu bentuk rekondisi jaman semata. Segala argumentasi, pencekalan, sweaping tidak menjadi ciut nyali dari placuran dan kemudian berubah. Malah, dia akan menjadi merubah diri dengan tuntutan jaman yang tidak meninggalkan entitasnya sebagai sebuah lendir yang tidak pernah kering.
Bahkan, dalam wacana saat ini rupa pelacuran yang menjadi tren gaya hidup, ia menjadikannya sebuah sistem produksi pabrikan, dalam kemasan industri seks. Dalam sistemnya pemberlakuan layaknya sebuah tempat kerja formal, ada absensi kehadiran, tempat kerja, dan benefit bagi karyawannya. Wow.
Meski begitu, entitas pelacuran tetap berkuta pada lendir yang tidak pernah kering.

Tidak ada komentar: