Pelacuran dalam Kotak Megapolitan
(Lendir yang
tidak pernah kering)
Dalam sebuah kontek masa lalu dan
kekinian rupa pelacuran ibarat sebuah
metamorfosis jaman. Sejarah telah membuktikan sejak jaman para nabi hingga
sekarang hal itu seperti lendir yang
tidak pernah kering, dia akan mengikuti jamannya dengan segala rupa yang
dikehendakinya.
Jakarta, sebuah kota metropolis dan
juga merupakan jantung dari segala aktifitas jaman tersaji lengkap dengan bumbu romansanya. Kerap sekali menjadi
problematika kehidupan yang tidak ada matinya , menjadi kota 1001 malamnya di
Indonesia membuatnya memiliki politik
kekuasaan yang tidak terbatas.
Hiruk-pikuk dan hingar-bingar manusia
didalamnya terorganisir dalam sistem masyarakat yang kompleks, disisi lain
anomali kehidupan pasti terjadi, jenuh. Siapapun yang menjadi punggawa atas keramaian itu pastilah orang yang
terpilih dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Prostitusi, atau pelacuran pasti
merupakan bagian dari permasalahan yang ada, bukanlah sekedar sebagai profesi
yang harus dijalani, atau karena desakan kebutuhan yang harus dipenuhi, atau
juga karena sebuah pengkhianatan cinta, melainkan pelacuran sebagai sebuah gaya
hidup manusia-manusia jaman mega-politan.
Mau yang online, atau disajikan dalam
ruang kaca display, atau yang
berkeliaran di atas bibir-bibir
jalanan, itu semua menurut kesesuaiannya dengan apa yang kita miliki dalam kantung koin emas kita.
Local product, atau made in western, hanyalah sekedar
lapisan kulit dan warna, cita rasa dan sensasinya yang menempel pada daging
yang membungkus tulang-tulang tak berjiwa.
Free style,
gangbang, thereesome, swing adalah metode dari ketidakpuasan akal terhadap perilaku
seks yang monoton.
Ada artis, Janda Muda nan Bohay, tante
Sosialita, Om-om genit, sekedar perangkat sosial yang nempel dalam strata masyarakat semata. Toh, hasilnya sama?
Semuanya sudah ada sejak dulu, dalam
sebuah kitab kuno kamasutra, kepuasan berada dalam alam pikiran kita. Cinta dan
kasih sayang, merupakan kunci menuju puncak kenikmatan. Jadi, apakah pasangan
anda hari ini adalah jodoh anda?
Tetaplah pelacuran masih ada demi
menjaga kesimbangan alam dan habitatnya, kita tidak akan pernah mampu
menghilangkan itu. Karena pelacuran memiliki dimensi ruang dan waktu yang tidak
terbatas. Dia bisa merubah diri sesuai apa yang oleh jaman
kehendaki.
Keberadaan pelacuran di mega-politan, Jakarta, sudah ada
sejak tahun 1625. Gemerlap kehidupan malam yang erotis hingga jaman sekarang masih
menghiasi kehidupan Jakarta. Bahkan Leonard Blusse, Profesor dari negeri Kincir
Angin, dalam karya bukunya yang berjudul Persekutuan
Aneh, pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia, LKIS Jogjakarta, dia
menulis bahwa kota Batavia yang berdiri di tahun 1619, 7 tahun setelah
berdirinya kota tersebut 1625 rumah-rumah
pelacuran ikut berdiri.
Segala kisah diceritakan dalam bukunya
mulai dari kisah Maria yang mengadukan Manuel, suaminya lantaran ia dan seorang
pribumi dipaksa melacur. Kisah Valdero, sebagai mucikari terkaya, pada masa itu, hingga akhirnya sebuah
undang-undang pelacuran dibuat namun, tetap tidak mampu membatasi ruang gerak ereksi yang terjadi. Aturan yang tidak jelas.
Celoteh pelacuran bukanlah barang baru,
semuanya adalah suatu bentuk rekondisi jaman semata. Segala argumentasi,
pencekalan, sweaping tidak menjadi ciut nyali dari placuran dan kemudian
berubah. Malah, dia akan menjadi merubah diri dengan tuntutan jaman yang tidak
meninggalkan entitasnya sebagai sebuah lendir
yang tidak pernah kering.
Bahkan, dalam wacana saat ini rupa pelacuran
yang menjadi tren gaya hidup, ia menjadikannya
sebuah sistem produksi pabrikan,
dalam kemasan industri seks. Dalam sistemnya pemberlakuan layaknya sebuah
tempat kerja formal, ada absensi kehadiran, tempat kerja, dan benefit bagi
karyawannya. Wow.
Meski begitu, entitas pelacuran tetap
berkuta pada lendir yang tidak pernah
kering.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar